Penggali Batu Bara

Galian tanah hingga ratusan meter dalamnya
Menyusuri galian sempit, gelap nan pengap
Tak peduli rindu, nyawa seakan tak berharga
Demi sesuap nasi, penyambung hidup

Rakus bin tamak baginda pemodal
Buruh terbiasa meski hanya beberapa rupiah
Diusung dogma, tak mengapa sedikit yang penting halal
Yang penting makan, tak peduli mewah

Berhari-hari mencari dan menggali
Batu hitam itu banyak diminati
Banjir keringat merayap mencari batu bara
Bertaruh nyawa, imbalan tak seberapa

Meski dipucuk ketakutan tetap menunduk
Dalam ruang sempit berjalan merangkak
Kadang merayap mencari batu-batu itu

Keringat enggan lagi bersemedi dalam tubuhmu
Tenaga kau kuras brjalan dengan tangan
Dalam lorong-lorong bawah tanah minim oksigen
Demi tumpukan uang buat majikan.

Panyampa, 27 Des. 2016

Bendung Lakejo

Jejak masih belum hilang
Ketika engkau dan aku menikmati indahnya bendung
Di tangga kenangan kita duduk berdua
Masa depan kita simpulkan bersama

Peluhku menjalar dari pori-pori
Mengingat kenangan disini seorang diri

Kini, aku bagai ditampar kabarmu
Seminggu berlalu aku baru tahu
Rupanya engkau telah meninggalkanku
Bukan sehari atau seminggu
Bukan pula setahun kau meninggalkanku
Tapi, selamanya sayangku.

Air berlari kencang dari mercu
Memanggil pula air mata berlari di pipiku
Tak ada kata yang mampu kulontarkan
Memejam mata bisaku, air matapun tak mampu tertahan
Semakin kukenang, sakitnya pun menikam semakin

Aku diselimuti kenangan
Engkau diselimuti kafan
Aku tinggal keseorangan
Engkau tinggal kenangan
Engkau tinggalkan nisan

Melalui air mata kuucapkan
Sayang, selamat jalan.

Oleh: Abdoel Azis Toro (Achiek)
Lakejo, 31 Okt. 2016

Ibuku Pembohong

Hembusan angin menyelimuti, dan kudingin
Dengan kasih sayang ibu merangkulku dalam pelukan

Ketika lapar mendera
Makanan hanya tinggal beberapa
“Nak, makanlah, ibu masih kenyang”
Tuturnya dalam kasih sayang

Saat sakit menghampiri datang
Tiada tidurnya Ibu, menenangkan
“Nak cepatlah tidur! Ibu akan tetap disini”
Rasa ngantukku menjauh lagi

Ketika sakit menerpa Ibu
Menjaganya, inginku
“Nak, pergilah tidur! Ibu tak apa-apa,
Khawatirku, nanti kamu sakit”  tuturnya

Ibuku  pembohong
Ketika ia lapar bilang kenyang
Ibuku pengelak
Ketika ia  ngantuk bilang tak ngantuk
Ibuku pendusta
Ketika ia sakit bilang tak mengapa.

Oleh: Abdoel Azis Toro (Achik)
Majene,  12 November 2016

Semut Bertanya

Semut.
Ia satu kelompok hewan.
Ia bertemu di jalan,
Ia bersalaman.
Ia mencari makan,
Ia gotong royong.
Ia bersama-sama dalam kenyang
Ia damai dalam satu lubang

...?
Ia satu kelompok pemimpin
Ia bertemu dalam ruangan
Ia buat kebijakan
Ia disuruh pemodal, diamankan.

Ia tidak perhatian
Ia tiada perasaan
Ia senang kenyang Sendirian
Rakyatnya dalam keterpurukan
Rakyatnya dalam kelaparan
Rakyatnya berebut makan.

Kebijakan Nampaknya,
bukan buat orang tak bermodal.

Semut bertanya
Makhlu itu siapa?
Apakah itu yang disebut manusia?
kenapa sikapnya tak seperti kita?
Ada yang kenyang dalam istana
Ada juga yang lapar disana
Padahal dalam satu lubang yang sama.

Kapuk-Jakarta Barat, 19 Januari 2016

Fatwa Tersirat dari Setangkai Bunga

Dibawah gerimis seorang gadis kecil berdiri di sudut toko
Menatap bunga-bunga yang berbaris sambil menggigit bibirnya
Dengan payung usangku, ku teduhi ia dari gerimis yang menerkam
“Kenapa hanya berdiri memandangi bungan itu”
tanyaku sambil ia berlari tanpa gumam

Kini sebentar lagi rembulan mengusir matari
Ia masih berdiri dan memandangi bunga itu kembali
Gerimis tidak lagi menerkam seperti pagi kemarin yang telah berlalu
Tapi kini hujan menikam tubuhnya yang kecil itu
Payungku telah rusak dan tak mampu meneduhinya
dari hujan yang terlempar dari langit
“kenapa hanya berdiri memandangi bunga itu”
Tanyaku kembali menyapanya
Sembari ia mengambil kemocengnya dan pergi menundukkan kepala

Penasaranku memecahkan celengan usangku.

Matari telah kembali bercokol dilangit biru
Dari dalam toko kulihat kembali gadis kecil itu
Menatapi bunga-bunga yang tersusun rapi
Dengan setangkai bunga iakuhampiri
“ini buatmu, tiga hari yang lalu hingga hari ini
Kau masih saja memandangi bunga-bunga yang sebentar lagi layu
Maka kubawakan bunga ini buatmu.”
Dengan lugu iapun sedikit bercerita dan memandang mataku.
Hari ini ulang tahun ibuku
Tapi uangku belum cukup untuk membeli kado untuk ibu
Mobil-mobil mewah tak ada yang terparkir di depan toko ini
Untuk ku bersihkan dan mendapatkan beberapa lembar rupiah lagi.
“Bisakah aku mengantarmu memberikan kado ini untuk ibumu?”
Tanyaku dengan tangan ku sandarkan kepalanya.
Gadis kecil mungil itu menarik tanganku
Tanpa suara ia membawaku lari di lorong-lorong waktu
Membawaku dan setangkai bunganya ke TPU
Dimana nisan-nisan berdiri tegak di atas tanah itu
Ia pun meletakkan bunga di atas nisan ibunya
Bu, hari ini ulang tahunmu dan aku hanya bisa memberikan bunga
Dan bait-bait yang kau ajarkan dulu tentang doa
Selalu kuucapkan dan kupanjatkan disetiap jarum jam berpindah dari tempatnya
Juga ketika rindu menyapa.
Aku hanya bisa memberikan ini, karena ayah juga telah tiada,
Menambahkan beberapa lembar rupiah untuk kado istimewa.
Doanya diatas nisan sembari menundukkan kepala.
Bukan lagi air hujan yang jatuh berserakan 
Menyirami nisan itu
tapi sakit yang menikam membuat matanya tak mampu
Tak mampu lagi membendung air mata jatuh ke nisan ibunya.

Oleh : Abdoel Azis Toro (Aci)
Grogol, 08 Maret 2016

Ayah ( Hembusan Terakhir )

Oleh: Abdoel Azis Toro (Aci)

Hembusan nafas telah terhenti
Ayah menutup mata dan pergi
Memanggil kabut membalut hati
Beriring intonasi air mata berlari di pipi.

Hembusan nafas telah terhenti
Ayah, dikeindahan alam yang berbeda. Tak kembali
Petuahmu tak lagi kudengari
Membuat telinga ini miskin petuah dan ia sunyi.

Luka menikamku dari dalam
Bersekawan dengan gumpalan sesal, menghantam
Tingkahku menghargaimu, buram
Namun kasihmu tetap menerangi
Kala aku terusik kelam.

Ku berdiri diatas sajadah bumi
Dimanapun berpijak kaki ini
Lirik-lirik doa ku coba selalu senandungkan
Tuhan, tempatkan ayah di tempat yang selalu membuatnya tersenyum
Seperti ia yang selalu membuatku tersenyum
Ketika lapar mengusik di senja yang temaram,
Menanti Ibu membawa makan
Dari berjualan ikan.

Ayah, Lembaran hidupmu kini usai
Tersisa lembaran-lembaran kenangan telah kau tulis di hati
Serta ejaan-ejaan doa, kecil dulu kau ajarkan.
Tuhan, dekap ayahku. Seperti dulu ia selalu mendekapku dalam kedinginan.

Cilember, Bogor, 09 Januari 2016

Nuansa Lirih

Oleh : Abdoel Azis Toro

Terdengar suara lirih darinya
Ungkapan helaian-helaian cerita
...darimu, yang terbawa angin membisiki telinga
Kawanku, dibuat resah-risau olehnya

Ternyata lirih itu sedih, Nuansa
Mantan pemilik hatimu, tak peka merasa
Tulusmu, ia balas mendua
Membuatmu merabas, menikmati air mata.

Pulanglah! Ingin kuceritakan susastra hati sang Kawan
Disini, ia empati merasakan
Disini, ia masih menunggu...
... menunggu Engkau menyimpirkan sayapmu...
...membawanya terbang ke hatimu

Pulanglah! Pulanglah meredekan rindunya yang menelaga
Meski Engkau tak tahu, tangismu menikamnya
Meski Engkau tak tahu, tawamu senangnya
Meski Engkau tak tahu, tentangmu goresan jiwanya.

Kota Tua, 31 Desember 2015