Suara terompet menghiasi
telinga
Petasan-petasan berbunyi beraturan diatas sana
Di langit kota tua serasa berbunyi Gegana
Membakar rupiahnya diluar sadar mereka.
Diluar sana, si Kakek masih menggendong karungnya
Memunguti serpihan-serpihan kaleng minuman
Semakin Penuh karungnya, akan semakin penuh pula perutnya
Di tepi jalan si kecil menanti, tertidur berbantal lengan
Tebal debu jalanan dari hempasan mobil mewah menjadi selimutnya
Dan berharap payungnya laku ketika hujan turun
Suara petasan pun membuat si kecil tak nyenyak tidurnya
Tertanggu suara petasan, terompet dan mesin yang belalu lalang
Sepasang manusia saling bergandengan tangan
Berusaha memiliki dunia dengan berpelukan
di pojok Gedung tua itu, ia meraba-raba kekasihnya dalam kegelapan
semak-samak belukar menjadi saksi sebagai korban
Ia layu setelah terkena cairan dari sebuah rangsangan
tak peduli banyak orang yang berjalan didepan
tak peduli di belakangnya si pengemis kelaparan
sebab, kebisingan Suara trompet dan petasan tahun baru
Menjadi suara Musik Romantisme yang merdu
Ditambah hiburan si Ksecil bersuara cempreng dimalam itu.
Pengamen bergandengan kulele itu
Berharap beberapa lembar rupiah ia kantongi
Bakal makan di esok pagi
Kini suara teriakan “Tahun Baru” mulai terdengar
Penguasa Negeri pun ikut tertawa menikmatinya
Seiring dari istana kolong jembatan, suara hati marjinal menggelegar
Tapi sayang, Penguasa Negeri yang berhati kebal tak merasakannya
Dari para sikantong tebal memamer, beradu petasan
Penguasa Negeri pun turut bersuka cita dan menyaksikan
Sedang para pemilik rumah kardus diluar sana bahagia berbagi kesedihan
Tapi mengapa, Peguasa Negeri enggan menyaksikan?
Dari pelosok wisata masih terdengar suara petasan
Penguasa Negeri pun kut senang mendengarkan
Dan dari pelosok Nusantara terdengar suara Penindasan
Tapi, Penguasa Negeri Tuli untuk hal yang demikian
Milyaran petasan berbunyi diatas sana silih berganti
Penguasa Negeri pun ikut bertepuk tangan
Tapi, Ratusan suara Proletar tertindas di seantero Negeri
Penguasa Negeri malah Angkat Tangan.
Oleh: Abdoel Azis Toro (Sastra)
Petasan-petasan berbunyi beraturan diatas sana
Di langit kota tua serasa berbunyi Gegana
Membakar rupiahnya diluar sadar mereka.
Diluar sana, si Kakek masih menggendong karungnya
Memunguti serpihan-serpihan kaleng minuman
Semakin Penuh karungnya, akan semakin penuh pula perutnya
Di tepi jalan si kecil menanti, tertidur berbantal lengan
Tebal debu jalanan dari hempasan mobil mewah menjadi selimutnya
Dan berharap payungnya laku ketika hujan turun
Suara petasan pun membuat si kecil tak nyenyak tidurnya
Tertanggu suara petasan, terompet dan mesin yang belalu lalang
Sepasang manusia saling bergandengan tangan
Berusaha memiliki dunia dengan berpelukan
di pojok Gedung tua itu, ia meraba-raba kekasihnya dalam kegelapan
semak-samak belukar menjadi saksi sebagai korban
Ia layu setelah terkena cairan dari sebuah rangsangan
tak peduli banyak orang yang berjalan didepan
tak peduli di belakangnya si pengemis kelaparan
sebab, kebisingan Suara trompet dan petasan tahun baru
Menjadi suara Musik Romantisme yang merdu
Ditambah hiburan si Ksecil bersuara cempreng dimalam itu.
Pengamen bergandengan kulele itu
Berharap beberapa lembar rupiah ia kantongi
Bakal makan di esok pagi
Kini suara teriakan “Tahun Baru” mulai terdengar
Penguasa Negeri pun ikut tertawa menikmatinya
Seiring dari istana kolong jembatan, suara hati marjinal menggelegar
Tapi sayang, Penguasa Negeri yang berhati kebal tak merasakannya
Dari para sikantong tebal memamer, beradu petasan
Penguasa Negeri pun turut bersuka cita dan menyaksikan
Sedang para pemilik rumah kardus diluar sana bahagia berbagi kesedihan
Tapi mengapa, Peguasa Negeri enggan menyaksikan?
Dari pelosok wisata masih terdengar suara petasan
Penguasa Negeri pun kut senang mendengarkan
Dan dari pelosok Nusantara terdengar suara Penindasan
Tapi, Penguasa Negeri Tuli untuk hal yang demikian
Milyaran petasan berbunyi diatas sana silih berganti
Penguasa Negeri pun ikut bertepuk tangan
Tapi, Ratusan suara Proletar tertindas di seantero Negeri
Penguasa Negeri malah Angkat Tangan.
Oleh: Abdoel Azis Toro (Sastra)
Kota Tua, 01/01/2016
0 komentar:
Posting Komentar